
JAKARTA, Perjalanan masa kecil di Indonesia masih terus menghadapi berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh individu yang lebih tua.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa pada bulan Januari hingga Juni 2025 terdapat sebanyak 12.500 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Sayangnya, sekitar 10.000 di antaranya merupakan kekerasan seksual yang dialami oleh anak perempuan.
Pada hari Kamis (17/7/2025), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bekerja sama dengan KemenPPPA menggelar seminar bagi guru PAUD dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli mendatang.
Punya kontrol terhadap emosi
Asdep Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah III KemenPPPA, Endah Sri Rejeki menyatakan bahwa banyak kejadian kekerasan terhadap anak terjadi secara tidak sengaja, bukan karena niat, melainkan karena orang dewasa kesulitan mengendalikan emosi mereka.
Endah menyatakan bahwa para dewasa harus memahami dirinya sendiri serta memiliki kendali atas dirinya sendiri.
"Kita juga perlu mengenali sifat diri sendiri, apakah sering marah dan emosi meluap. Ada yang ketika marah bicaranya tidak jelas, ini juga harus diwaspadai. Mungkin lebih baik belajar lagi 'Saya kalau marah biasanya bicaranya kasar', inilah yang perlu kita kendalikan," ujar Endah.
Misalnya seorang wanita dewasa sedang mengalami gejala premenstruasi atau menghadapi tantangan berat yang menyebabkan perasaannya menjadi sangat tidak stabil.
"Sebaiknya, jangan bertemu anak secara langsung dulu," kata Endah.
Anak meniru tindakan negatif
Ketua III PP Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI), Reni Kusumowardhani menyatakan bahwa para orang dewasa harus memiliki kesadaran akan kebutuhan perlindungan, keamanan, dan keselamatan anak serta mampu mengenali emosi mereka sendiri ketika sedang dalam kondisi tidak baik.
Reni memberikan contoh emosi yang ditunjukkan orang dewasa bisa meledak, bahkan hingga membuat piring terlempar.
Seperti yang dikatakan Reni, jika ada anak-anak yang berada di dekat orang dewasa tersebut, mereka berisiko untuk "belajar" dan meniru perilaku negatif.
"Mempelajari cara melihat, lalu ia menyadari bahwa 'Oh, ketika seseorang sedang marah, sedang tidak nyaman, boleh saja mengucapkan kata-kata dengan nada tinggi, menyakitkan, bahkan membanting-banting. Anak-anak adalah peniru yang sangat baik," kata Reni.
Namun, Reni menyatakan bahwa bukan berarti orang dewasa tidak boleh memiliki perasaan negatif.
"Selain kita perlu sadar terhadap diri sendiri, kita juga harus memberikan ruang bagi anak-anak agar mereka boleh merasa tidak baik-baik saja. Misalnya, ketika anak sedang marah atau menolak, banyak orang dewasa berkata 'Kenapa kamu seperti itu? Tidak boleh begitu'. Namun kita sering lupa bahwa orang dewasa yang sedang tidak baik-baik saja juga tidak memiliki batasan perilaku," kata Reni.
Maka itu Reni menyatakan bahwa orang tua termasuk guru di sekolah PAUD perlu meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
"Anak-anak tidak lebih tinggi dari kita. Terkadang kita berbicara tanpa menyadari sambil berdiri hingga anak harus menengok ke atas. Itu sebenarnya strategi komunikasi. Coba kita sedikit merundung agar tinggi kita sama dengan anak sehingga mereka merasa nyaman dan dapat lebih memahami pesan yang kita sampaikan. Selain itu, pemilihan kata-kata juga penting," jelas Reni.
Screamfree parenting
Di sisi lain, Wakil Kepala Rumah Main Cikal, Ainul Yaqin menyampaikan bahwa pendekatan pengasuhan tanpa teriakan atau ejekan dalam proses pendampingan perkembangan anak dikenal dengan istilah Screamfree Parenting. Pola pengasuhan ini menjadi yang diinginkan oleh banyak orang tua muda saat ini.
Dalam usaha untuk terbiasa memberikan pendampingan tanpa menggunakan suara keras, Ainul menyampaikan beberapa refleksi yang perlu dilakukan oleh orang tua, antara lain:
1. Pahamilah bahwa anak sedang dalam proses belajar
Orang tua perlu memahami bahwa tahap perkembangan anak merupakan langkah awal dalam proses belajar mengenai diri sendiri, orang lain, serta lingkungan sekitarnya.
Melakukan evaluasi terhadap momen pendampingan tanpa suara keras, memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang dan belajar dari kesalahan yang mereka lakukan.
"Yang penting harus kita ingat adalah bahwa anak-anak kita masih memerlukan proses belajar, bimbingan agar dapat memahami dan mengerti, serta mereka juga perlu kesempatan untuk belajar dari kesalahan yang mereka lakukan," katanya.
2. Lakukan evaluasi berkala terkait respons emosional
Perasaan adalah bagian penting dalam diri kita. Oleh karena itu, ketika kita mulai ingin berteriak atau dalam beberapa waktu mengeluarkan suara marah terhadap anak, sebaiknya kita merenungkan apakah ini cara yang benar yang kita lakukan?
"Berikan kesempatan untuk merenung dan mengevaluasi apa yang pernah kita lakukan serta ucapkan kepada anak-anak kita. Dengan melakukan refleksi diri dan jujur terhadap diri sendiri, seharusnya kita bisa memahami apakah kita sudah menggunakan metode yang benar dalam mendidik anak-anak kita, termasuk dalam hal menggunakan suara keras dan teriakan," tambahnya.
Dalam menentukan respons yang akan diberikan, orang tua perlu menekankan pada waktu refleksi saat melakukan pertimbangan untuk merespons tindakan yang dilakukan anak.
"Ingat, kuncinya adalah melakukan refleksi diri dan memberi waktu untuk berdamai dengan diri sendiri sebelum kita memutuskan untuk menunjukkan respons yang diinginkan, sehingga kita akan memiliki kendali penuh atas reaksi yang akan kita tunjukkan tanpa terpengaruh oleh kondisi emosional sementara," tutupnya.