Tambal Sulam Keuangan: Strategi Taktis atau Pragmatis?

, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selalu menyatakan bahwa posisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dalam kondisi aman. Rasio keseluruhanoutstanding Utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di bawah 60%. Di sisi lain, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga berada di bawah 3% dari PDB.

Secara resmi, APBN tampaknya dalam kondisi yang wajar. Tidak ada peraturan yang dilanggar dan pengelolaan anggaran dapat diklaim telah dilakukan secaraprudentNamun, di balik kinerja anggaran tersebut, terdapat beberapa catatan.

Jika melihat data realisasi semester pertama APBN 2025 kemarin,shortfall Pajak atau perbedaan antara target dan realisasi penerimaan pajak masih menjadi tantangan dalam pengelolaan anggaran. Penerimaan pajak diperkirakan hanya mencapai 94,9% dari target sebesar Rp2.189,3 triliun.

"Jika kita melihat dari penerimaan pajak yang telah mencapai Rp2.076,9 miliar atau sebesar 94,9% dari target APBN," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini.

Meski demikian, potensi shortfallpenerimaan pajak bisa saja meningkat karena tekanan yang berasal dari dalam maupun luar negeri masih sangat besar. Terdapat kemungkinan besar tekanan dari sisisupply side dan demand side.

Apalagi, jika melihat situasi saat ini, momen penting dalam perekonomian, salah satunya lebaran, telah terjadi pada semester pertama/2025. Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran tidak hanya berpotensi memperlambat laju ekonomi, tetapi juga dapat mengurangi pendapatan pajak dari aktivitas belanja pemerintah. Pendapatan yang selalu diharapkan setiap akhir tahun tiba.

Sebagai catatan, pada semester 1/2025 lalu, realisasi penerimaan dua jenis pajak yang menjadi andalan penerimaan negara mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan, misalnya, hanya mencapai Rp152,5 triliun atau mengalami penurunan sebesar 11,7%. Sementara itu, PPN dan PPnBM mengalami penurunan yang lebih dalam, yaitu sebesar 19,7% dengan realisasi sebesar Rp267,27 triliun.

Dua jenis penerimaan pajak ini mencerminkan kondisi ekonomi. Penurunan kinerja pajak penghasilan perusahaan dapat diartikan sebagai tanda melemahnya kinerja perusahaan-perusahaan. Sementara pajak pertambahan nilai, yang merupakan pajak konsumsi, juga bisa menunjukkan adanya kendala dari segi permintaan atau kemampuan beli masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah juga bisa mengklaim bahwa penurunan penerimaan pajak bukan disebabkan oleh turunnya ekonomi, melainkan karena pengembalian pajak dan kembali turunnya harga komoditas.

Selain pajak, sektor pendapatan lainnya seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga tidak kalah rumit. PNBP menghadapi tantangan akibat fluktuasi harga komoditas dan perubahan pengelolaan dividen BUMN yang dialihkan ke Danantara. Di sisi lain, penerimaan kepabeanan seperti bea masuk dan cukai rokok terpengaruh oleh kebijakan baik dalam maupun luar negeri. Penerimaan cukai rokok juga menghadapi kendala karena adanyashifting atau fenomena down tradingkonsumsi kelas 1 ke kelas rendah.

Risiko tinggi shortfallsektor pendapatan negara ini berbeda jauh dengan beban pengeluaran yang sangat besar. Salah satunya adalah untuk membayar bunga utang. Sebagai informasi, tahun ini pembayaran bunga utang menjadi bagian terbesar dalam struktur anggaran pemerintah pusat. Jumlahnya mencapai Rp552,8 triliun atau 20,4% dari target anggaran pemerintah pusat sebesar Rp2.701,4 triliun.

Pengeluaran anggaran untuk pembayaran bunga utang jauh lebih besar dibandingkan anggaran subsidi yang hanya sebesar Rp307,9 triliun serta bantuan sosial yang tercatat senilai Rp140 triliun. Selain itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, terdapat tren peningkatan dalam pembayaran bunga utang antara tahun 2021 hingga 2024, meskipun angka tersebut masih merupakan asumsi karena tahun 2024 masih berlangsung, dengan rata-rata berkisar pada 11,94%.lihat tabel).

Tabel. Pembayaran Bunga Utang

Tahun Bunga Utang Belanja Pusat Persentase Pertumbuhan
2021 343,5 2.000,7 17,1 9,3
2022 386,3 2.280 16,9 12,4
2023 439,8 2.239,7 19,6 13,8
2024* 498,9 2.558,2 19,5 13,4
2025** 552,8 2.701,4 20,4 10,8

Sumber: Kemenkeu, diolah. 2024 (pandangan), 2025 (target)

Besar tidaknya tren anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran bunga utang, sementara kinerja penerimaan pajak belum mencapai harapan, berpotensi mengurangi kualitas pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah. Meskipun demikian, dalam pertemuan dengan Komisi Anggaran (Banggar) DPR beberapa pekan lalu, Sri Mulyani menegaskan bahwa pengelolaan anggaran tersebut akan tetap dilakukan secara sangat hati-hati.

Dampak peningkatan risiko fiskal akibat kemungkinan melebarnya defisit penerimaan pajak serta besarnya kebutuhan anggaran untuk membayar bunga utang, membuat pemerintah terpaksa memperluas ruang fiskal dengan memperlebar proyeksi outlook APBN 2025 dari 2,53% terhadap PDB menjadi 2,78%. Keseimbangan primer juga mengalami perluasan dari Rp63,3 triliun menjadi Rp109,8 triliun atau 0,47% dari PDB dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5%.

Akibatnya, pemerintah harus menggali lubang untuk menutupi lubang lain. Mengambil utang baru guna melunasi utang lama yang jatuh tempo. Angka utang atau pembiayaan anggaran kemudian melonjak menjadi Rp662 triliun. Rasio utang terhadap PDB hampir pasti akan naik pada tahun 2025.

Masalahnya, berdasarkan data Kemenkeu, rasio utang saat ini belum mampu kembali ke tingkat sebelum wabah. Sebagai contoh, sebelum wabah, pada tahun 2019 atau lebih rendah, rasio utang berada di kisaran 29% hingga 30%. Selama wabah berlangsung hingga saat ini, angkanya tetap berada di kisaran 39% hingga melebihi 40%.

Hal ini berbeda dengan rasio pendapatan terhadap PDB yang terakhir pada tahun 2024 lalu mengalami penurunan menjadi 12,88% (unaudited) Keputusan untuk menambah utang di tengah tren penurunan rasio pendapatan negara terhadap PDB juga berpotensi membahayakan stabilitas anggaran dalam jangka panjang.

Akhirnya, pemerintah memanfaatkan dana sisa anggaran lebih atau SAL untuk menutupi defisit APBN tahun 2025.

Pilihan Pragmatis?

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, menganggap penggunaan SAL sebagai pilihan yang realistis untuk menghindari penambahan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), khususnya dalam situasi tekanan defisit fiskal yang membesar serta penurunan pendapatan pajak pada awal tahun.

“Dalam kondisi volatilitaspasar global serta biaya dana yang tinggi [beban bunga dana], pemanfaatan SAL ini memang mampu mengatasi tekananyield obligasidan mempertahankan kredibilitas keuangan jangka pendek," kata Rizal kepadaBisnis, Kamis (3/7/2025) lalu.

Meskipun efektif dalam jangka pendek, Rizal menegaskan bahwa penggunaan SAL tidak boleh terus-menerus digunakan sebagai cara untuk menutupi defisit keuangan.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa sebagian besar SAL berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) kementerian/lembaga, yang mencerminkan rendahnya penyerapan anggaran, bukan keefisienan pengeluaran.

"Jika akumulasi SAL ini terutama berasal dari pengeluaran modal atau pengeluaran produktif yang tertunda, maka pemanfaatannya justru berpotensi menghambat efek multiplier yang sangat diperlukan dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional," ujarnya.

Oleh karena itu, dia memperingatkan pemerintah agar penggunaan SAL dilakukan bersamaan dengan upaya perbaikan struktural yang nyata. Seharusnya, lanjut Rizal, fokus utama pemerintah bukan hanya menutup defisit tetapi meningkatkan kualitas perencanaan dan efisiensi pengeluaran negara.

Pengajar di Universitas Trilogi Jakarta ini juga mendorong pemerintah agar tetap memperhatikan perbaikan sistem penerimaan pendapatan negara dan penyempurnaan desain anggaran agar APBN menjadi lebih sehat, efektif, dan berkelanjutan.

"Transparansi penggunaan SAL, penguatan tata kelola keuangan, serta penilaian program kementerian/lembaga yang selama ini menyebabkan terciptanya SiLPA struktural harus menjadi syarat utama. Jangan sampai SAL menjadi contoh negatif yang justru melemahkan tujuan konsolidasi keuangan," tutupnya.

Di sisi lain, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menganggap penggunaan SAL sebagai pilihan yang cerdas dalam situasi pasar keuangan global yang penuh ketidakpastian.

Ia melihat pemanfaatan SAL justru dapat menjadi solusi dalam situasi biaya pendanaan yang tinggi (cost of fund) akibat kenaikan imbal hasil (yield) di pasar obligasi global. "Pengeluaran utang baru memang sedikit mahal saat ini, karenayieldsedang dalam kondisi tinggi. Sementara SAL tersebut bisa digunakanat no cost"Jadi ini adalah pilihan yang baik," ujar Riefky kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).

Selain itu, Riefky mengingatkan pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam menentukan besaran penggunaan SAL. Mengingat, pemerintah juga perlu mempertahankan likuiditas kas negara secara terus-menerus atau jangka panjang. “Pemerintah tetap harus menjaga”cash flowagar tidak muncul kendala likuiditas di masa mendatang," katanya.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama