
.CO.ID, SEMARANG -- Majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang memutuskan tidak mencabut hak politik eks wali kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita, dan suaminya, Alwin Basri, dalam kasus korupsi di lingkup Pemkot Semarang, Rabu (27/8/2025). Alasannya adalah karena mereka sudah memasuki masa lanjut usia (lansia).
Saat membacakan vonis terhadap Mbak Ita dan Alwin Basri, Hakim Ketua Gatot Sarwadi, mengungkapkan, berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain uang pengganti, pidana tambahan terhadap pelaku korupsi dapat juga berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan pemerintah kepada terpidana.
Hakim Gatot menambahkan, menimbang bahwa dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selaras dengan ketentuan Pasal 10 huruf d angka 1 juncto Pasal 35 angka 3 KUHP menentukan bahwa hak terpidana dengan putusan hakim dapat dicabut ialah hak memilih dan dipilih.
Hakim Gatot memaparkan, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur tentang lama pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan. Paling lama yakni selama lima tahun sejak terpidana menuntaskan pidana pokok yang dimuat dalam amar putusan.
Hakim Gatot kemudian menjelaskan bahwa tujuan hukum terdiri dari tiga nilai dasar, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dia menambahkan, nilai keadilan diprioritaskan dibandingkan kemanfaatan dan kepastian hukum.
"Menimbang bahwa berdasarkan nilai dasar keadilan, maka majelis hakim berpendapat: bahwa terdakwa 1, Hevearita Gunaryanti Rahayu, telah berusia 59 tahun, dan terdakwa 2 (Alwin Basri) telah berusia 61 tahun, yang keduanya menurut Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia memasuki usia lansia, dan para terdakwa adalah orang yang berpendidikan sehingga majelis hakim berkeyakinan para terdakwa tidak akan mengulangi perbuatan yang tercela dan kejadian ini dapat dijadikan pembelajaran bagi para terdakwa," ucap Hakim Gatot Sarwadi.
"Sehingga majelis hakim dengan mendasarkan rasa keadilan dan kepatutan, para terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Telah cukup dengan penghukuman para terdakwa dengan pidana pokok berupa pidana penjara, pidana denda subsider kurungan, dan pidana tambahan," tambah Hakim Gatot.
Vonis
Eks wali kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita, divonis penjara selama lima tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam kasus korupsi di lingkup Pemkot Semarang, Rabu (27/8/2025). Pada kasus serupa, suami Mbak Ita, Alwin Basri, yang merupakan mantan anggota DPRD Jawa Tengah, dijatuhi hukuman lebih lama, yakni tujuh tahun penjara.
"Menjatuhkan kepada terdakwa 1, Hevearita Gunaryanti Rahayu, oleh karena itu dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda sejumlah Rp300 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan," kata Hakim Ketua Gatot Sarwadi saat membacakan vonis terhadap Mbak Ita dan Alwin.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa 2, Alwin Basri, oleh karena itu dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan denda sejumlah Rp300 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan," tambah Hakim Gatot.
Selain itu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang turut menjatuhkan hukuman uang pengganti sebesar Rp683 juta kepada Mbak Ita dan Rp4 miliar kepada Alwin. Jika Mbak Ita dan Alwin tak mampu membayar uang pengganti tersebut, masa hukumannya akan ditambah masing-masing selama enam bulan penjara.
Saat membacakan putusan, Hakim Gatot menyatakan Mbak Ita dan Alwin Basri telah terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan f serta Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Vonis majelis hakim terhadap Mbak Ita dan Alwin lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
Dalam persidangan pada 30 Juli 2025 lalu, JPU KPK menuntut Mbak Ita dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda sebesar Rp500 juta. Sementara Alwin dituntut delapan tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta.
Mbak Ita dan Alwin diketahui menghadapi tiga dakwaan. Dalam kasus pertama, JPU KPK mendakwa Ita dan Alwin menerima uang sebesar Rp3,75 miliar dalam proyek pengadaan meja dan kursi fabrikasi sekolah dasar (SD) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Kota Semarang Tahun Anggaran 2023. Dalam APBD-P Kota Semarang Tahun Anggaran 2023, anggaran untuk proyek pengadaan meja dan kursi fabrikasi SD adalah Rp20 miliar.
Menurut JPU, fee sebesar Rp3,75 miliar kepada Ita dan Alwin adalah bentuk imbalan karena mereka telah mengondisikan agar proyek pengadaan meja serta kursi fabrikasi SD di Pemkot Semarang diperoleh PT Deka Sari Perkasa. JPU mengungkapkan, dalam proyek tersebut, Ita dan Alwin menerima fee dari Martono selaku Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Semarang sebesar Rp2 miliar. Selain itu, mereka juga memperoleh fee Rp1,75 miliar dari Rachmat Utama Djangkar selaku Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa. Dalam dakwaannya, JPU juga menyebut Martono sebagai penerima manfaat dari PT Chimarder777 dan PT Rama Sukses Mandiri.
Dalam kasus kedua, JPU mendakwa Ita dan Alwin telah menerima uang yang bersumber dari “iuran kebersamaan” para pegawai negeri di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang dengan total sebesar Rp3,08 miliar. Ita memperoleh Rp1,8 miliar, sedangkan Alwin mengantongi Rp1,2 miliar.
JPU mengungkapkan, uang iuran kebersamaan dari para pegawai Bapenda Kota Semarang disetorkan kepada Ita dan Alwin pada rentang triwulan IV 2022 hingga triwulan IV 2023.
Sementara dalam kasus ketiga, Ita dan Alwin didakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp2 miliar. Dalam kasus ini, Ketua Gapensi Kota Semarang Martono turut terlibat dan menerima uang sebanyak Rp245 juta. Gratifikasi tersebut terkait dengan proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan di Kota Semarang Tahun Anggaran 2023.