Dari naik pangkat sampai dimakamkan di taman makam pahlawan menjadi hak penerima tanda kehormatan – Mengapa sejumlah nama menuai polemik?

Presiden Prabowo Subianto memberi tanda kehormatan kepada 141 tokoh nasional, awal pekan ini. Sejumlah nama penerima dari kalangan pejabat, pembantu Prabowo di Kabinet Merah Putih, termasuk kalangan pengusaha mendapat sorotan publik. Apa saja hak-hak yang akan mereka terima?

Jumlah penerima tanda kehormatan ini meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu saat Presiden Joko Widodo menyematkan tanda kehormatan kepada 64 tokoh.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengatakan pemberian tanda kehormatan akan menjadi "tradisi" ke depan, karena tak sedikit tokoh yang belum memperoleh penghargaan meski berprestasi dan berkontribusi bagi negara.

"Ini menggambarkan bahwa Bapak Presiden yang betul-betul ingin memberikan penghargaan kepada siapa saja putra-putri terbaik bangsa yang berprestasi dan menjalankan tugas di bidangnya yang melebih panggilan tugas," kata Mensesneg Prasetyo Hadi yang juga menerima Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera.

Namun, Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menganggap tak semua nama penerima layak mendapat tanda kehormatan.

"Benturan kepentingannya kan cukup banyak. Benturan kepentingannya, kedekatan dengan presiden," katanya, merujuk nama-nama politikus yang memperoleh bintang tanda kehormatan.

Siapa saja politikus yang mendapat tanda kehormatan?

Puan Maharani (Ketua DPR), Ahmad Muzani (Ketua MPR), Sultan Bachtiar Najamudin (Ketua DPD), Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR), dan Zulkifli Hasan (Menko bidang Pangan), memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama.

Menurut UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, ada syarat khusus bagi penerima Bintang Republik Indonesia, yaitu:

  • Berjasa sangat luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan bangsa dan negara;
  • Pengabdian dan pengorbanannya di berbagai bidang sangat berguna bagi bangsa dan negara; dan/atau;
  • Darmabakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional.

Saat pemberian tanda bintang, protokol Istana menyebutkan kelimanya "berjasa sangat luar biasa" baik di bidang politik, kepemimpinan, memperjuangkan kepentingan rakyat, dan dukungan serta pengawalan kebijakan strategis nasional.

"Beliau berjasa sangat luar biasa dalam bidang ketahanan pangan nasional, melalui koordinasi kebijakan lintas sektor untuk menjaga stabilitas harga beras, jagung dan komoditas pokok, penguatan distribusi pangan hingga daerah terpencil, serta program diversifikasi pangan yang dipublikasi luas," kata protokol khusus merujuk Menko Pangan, Zulkifli Hasan.

Di sisi lain, Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera juga diberikan kepada pejabat dan politikus di lingkungan Kabinet Merah Putih. Mereka yang juga disebut "berjasa luar biasa" adalah:

  • Abdul Muhaimin Iskandar (Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat)
  • Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM)
  • Saifullah Yusuf (Menteri Sosial)
  • Andi Amran Sulaiman (Menteri Pertanian)
  • Agus Harimurti Yudhoyono (Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan).
  • Sugiono (Menteri Luar Negeri)
  • Abdul Mu'ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah)
  • Fadli Zon (Menteri Kebudayaan)
  • Prasetyo Hadi (Mensesneg)
  • Teddy Indra Wijaya (Sekretaris Kabinet),
  • Meutya Viada Hafid (Menteri Komunikasi dan Digital Indonesia).
  • Juri Ardiantoro (Wakil Mensesneg)
  • Sudaryono (Wamentan)
  • Angga Raka Prabowo (Wamen Komdigi)
  • Hashim Djojohadikusumo (Utusan Khusus Presiden bidang Iklim dan Energi).

Menurut Bivitri, nama-nama ini sepatutnya tak perlu mendapat tanda kehormatan, karena mereka bekerja sudah sesuai dengan tugas dan jabatannya.

"Karena kan itu tugas dia, sebagai pemegang jabatan tertentu itu. Jadi enggak usah dikasih penghargaan berlebihan... Penghargaan itu layaknya hanya diberikan bagi yang membuat terobosan-terobosan yang luar biasa bagi bangsa ini," katanya.

Ia juga menyoroti nama-nama yang punya rekam jejak kasus korupsi, yaitu mantan gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah dan mantan bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze.

"Itu kan juga sesuatu yang tentu saja tidak layak. Jadi penghargaan atas jasa-jasa yang harusnya juga punya dasar moralitas," tambahnya.

Dalam daftar 141 nama penerima tanda kehormatan juga terdapat tokoh agama, militer, lokal, seni dan budaya, intelektual, penegak hukum, diplomat, hingga pengusaha seperti Maher Al Gadri dan Andi Syamsuddin Arsyad.

Bivitri bilang ada beberapa daftar nama yang ia anggap layak mendapatkan tanda kehormatan, seperti Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Iman Santoso. Kapolri periode 1968–1970 disebut sosok yang punya integritas dan menjunjung tinggi kejujuran.

"Karena juga rekam jejaknya sudah teruji. Semuanya sudah banyak yang menulis," katanya.

Mantan Kepala Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif, ikut menyoroti pemberian tanda kehormatan.

Menurutnya, tanda kehormatan sebagai "mahkota kenegaraan" yang pernah menghiasi dada Jenderal Soedirman, Mohammad Natsir, dan Ki Hajar Dewantara telah "kehilangan kemilau aura sejatinya".

"Bintang Mahaputera, yang dulu dipersembahkan untuk para pemikul beban republik, kini kerap jatuh menjadi sekadar bros pesta politik. Ia tidak lagi dipakai untuk menandai pengabdian kepada negara, melainkan untuk menandai kesetiaan pada seorang," kata Yudi Latif.

"Simbol sakral berubah menjadi souvenir, tanda terima kasih bagi para pengiring kuasa."

Siapa dan bagaimana menentukan penerima tanda kehormatan?

Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan adalah dewan yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Ini menurut UU Nomor 20 Tahun 2009.

Saat ini, ketua dewannya adalah Fadli Zon yang juga duduk sebagai menteri kebudayaan. Fadli Zon pernah menerima Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Joko Widodo pada 2020 silam yang memicu polemik.

Politikus Partai Gerindra ini kembali dapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Prabowo Subianto saat dirinya menjabat ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Dewan ini juga beranggotakan dua akademisi, dua orang berlatar belakang militer, dan tiga tokoh masyarakat yang pernah mendapat tanda jasa/tanda kehormatan.

Tugasnya meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan serta memberi pertimbangan untuk pemberian gelar, atau pemberian dan pencabutan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Fadli Zon ini belum memberikan komentar terkait pemberian tanda kehormatan terbaru, setelah BBC News Indonesia mengirim pesan tertulis.

Anggota dewan lainnya, Profesor Susanto Zuhdi, guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) dan Profesor Agus Mulyana dari Universitas Pendidikan Indonesia juga belum memberi respons.

Namun, Fadli Zon dalam keterangan kepada media—tanpa spesifik menyinggung diri sendiri yang memperoleh tanda kehormatan—menyampaikan apresiasi kepada para penerima tanda kehormatan, khususnya tokoh-tokoh kebudayaan.

"Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para penerima tanda jasa dan tanda kehormatan," katanya.

Semoga semangat berkarya para tokoh ini menjadi inspirasi bagi generasi mendatang dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan Indonesia."

Bagaimanapun, Bivitri Susanti mendorong agar semua kriteria nama penerima dipublikasikan secara transparan ke publik.

"Jadi kita juga sekarang mengkritiknya enak, enggak cuma nuduh-nuduh," katanya.

Apa saja yang hak-hak penerima tanda kehormatan?

Penerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama dan Bintang Mahaputera yang masih hidup, mendapat beberapa hak istimewa.

Mereka berhak mendapat pengangkatan atau kenaikan pangkat secara istimewa, dan mendapat protokol dalam acara resmi dan acara kenegaraan, sesuai PP No. 35 Tahun 2010.

Sementara itu, penerima tanda kehormatan yang meninggal dunia berhak mendapat pengangkatan atau kenaikan pangkat secara anumerta; pemakaman dengan upacara kebesaran militer; dan pemakaman atau sebutan lain dengan biaya negara.

"Penghormatan dan penghargaan berupa hak pemakaman di Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Utama diberikan hanya untuk penerima Gelar, Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia, dan Bintang Mahaputera," jelas aturan yang sama.

'Narsistik elite yang berkuasa'

Pemberian tanda jasa atau tanda kehormatan kepada politisi dan kalangan pejabat pemerintahan bukan yang pertama.

Tahun lalu, Presiden Jokowi memberi Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama kepada Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menko bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera juga diberikan Presiden Jokowi kepada jajaran menterinya, termasuk Prabowo Subianto saat menjabat menteri pertahanan.

Menurut sejawaran Andi Achdian, kebiasaan pemberian tanda jasa dan kehormatan kepada sejumlah elit politik dan pejabat sudah dimulai sejak orde baru era 1980-1990.

"Nah itu tradisi yang saya kira muncul lagi sekarang, terakhir-akhir ini dengan memberikan bintang-bintang itu atau penghargaan itu pada circle elite," katanya.

"Jadi, seorang sudah menulis bahwa (TMP) Kalibata itu bukan pahlawan lagi, isinya birokrat dan koruptor."

Penuturan ini juga diperkuat keterangan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang menolak dimakamkan di TMP Kalibata.

"Ah, nanti para koruptor menegur saya. Padahal saya mau istirahat," tutur Hoegeng seperti dikutip Tempo.co.

Andi menggambarkan pemberian tanda jasa dan kehormatan saat ini sebagai "narsistik elite yang berkuasa".

Kelompok elite yang "mengagumi diri sendiri, menghadiahi diri sendiri dengan semua privilese (hak istimewa)".

Hal ini bisa berdampak pada kecemburuan sosial di masyarakat, kata Andi.

Ia menyandingkan kondisi pemberian penghargaan, gelar, dan hak istimewa elite berkuasa pada lingkaran elite ini dengan tahun-tahun sebelum revolusi Prancis 1789.

Saat itu, Raja Prancis Louis XIV sampai XVI memiliki kekuasaan absolut. Gelar kebangsawanan, jabatan tinggi bahkan tanda kehormatan bisa dibeli dan diberikan kepada keluarga bangsawan tertentu.

"[Ini] peringatan lah. Baca sejarah itu," jelas Andi.

BBC News Indonesia telah menghubungi Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardianto, untuk dimintai tanggapan. Namun hingga artikel ini diterbitkan belum mendapat respons.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama

Comments