
Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah menyiapkan langkah besar dalam penataan badan usaha milik daerah (BUMD). Rencana ambisius itu adalah melebur puluhan BUMD yang kini berjumlah 41 menjadi satu atau dua entitas holding.
Targetnya, kebijakan ini mulai berjalan pada 2026 setelah melalui serangkaian pembahasan di legislatif.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa penataan BUMD mutlak dilakukan agar kinerja perusahaan daerah menjadi lebih sehat dan produktif.
Menurutnya, jumlah BUMD yang terlalu banyak justru menimbulkan persoalan baru, terutama terkait efisiensi dan beban anggaran.
“BUMD terlalu banyak itu tidak sehat. Idealnya hanya ada satu BUMD yang multifungsi, kuat, dan berdaya saing,” ujar Dedi di Bandung, Selasa, 26 Agustus 2025.
Dua Raperda Disiapkan DPRD
Untuk merealisasikan rencana ini, Pemprov Jabar bersama DPRD akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) BUMD. Pansus tersebut mulai bekerja pada tahun ini untuk merumuskan aturan yang diperlukan.
Dedi menyebut pada tahun depan pihaknya akan mengajukan dua rancangan peraturan daerah (raperda).
“Raperda pertama akan mengatur Bank Jabar, sementara raperda kedua mengatur penggabungan seluruh BUMD menjadi satu holding. Jadi 2026 kita targetkan sudah mulai dilaksanakan,” ucapnya, dikutip dari ANTARA pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Dedi tidak menutup kemungkinan sejumlah BUMD akan ditutup, terutama yang bermasalah atau memiliki kinerja buruk. Ia menekankan, audit tengah dilakukan untuk menilai kondisi masing-masing perusahaan.
“BUMD yang bermasalah akan diamputasi, agar tidak terus merugikan daerah,” tambahnya.
Wacana penggabungan BUMD ini juga mendapat sambutan dari DPRD Jawa Barat. Wakil Ketua DPRD, Ono Surono, menyatakan mayoritas BUMD di provinsi ini memang memiliki banyak persoalan. Hanya segelintir yang mampu menunjukkan kinerja baik, salah satunya adalah Bank Jabar Banten (BJB).
Namun, menurut Ono, BJB pun masih menyimpan beberapa catatan, bahkan sebagian kasusnya masih dalam proses hukum. Meski begitu, ia menilai langkah merger dan pembentukan holding merupakan pilihan tepat untuk meningkatkan tata kelola BUMD.
“Dengan adanya penggabungan, jumlah direksi dan komisaris bisa dikurangi. Biaya operasional pun lebih efisien. Selain itu, fungsi bisnis tiap BUMD bisa difokuskan, sehingga tidak tumpang tindih,” kata Ono.
Ia menegaskan DPRD sejak lama mendorong pemerintah provinsi melakukan revitalisasi BUMD.
Menurutnya, pilihan restrukturisasi melalui penghapusan, merger, atau holding merupakan strategi realistis demi meningkatkan kinerja perusahaan daerah.
Bayang-bayang Kasus Korupsi di BUMD Jabar
Di balik wacana reformasi BUMD ini, sejumlah kasus korupsi yang melibatkan perusahaan daerah di Jawa Barat juga menjadi sorotan. Dalam beberapa bulan terakhir, aparat penegak hukum mengusut berbagai dugaan penyelewengan dana di sejumlah BUMD.
Salah satunya adalah kasus korupsi di PT Migas Utama Jabar (MUJ) yang ditangani Kejaksaan Negeri Kota Bandung. Kerugian negara dari kasus ini diperkirakan mencapai Rp86,2 miliar.
Selain itu, ada penyidikan terhadap PT Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida Jabar) terkait praktik menjaminkan ulang perusahaan ke reasuransi dengan mekanisme yang diduga menimbulkan potensi kerugian. Periode kasus ini berlangsung antara 2013–2022.
Kasus lain menimpa PT Jasa Sarana. Perusahaan tersebut diduga melakukan penyimpangan dalam pengelolaan pajak tambang.
Penanganan kasusnya dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Sumedang, dengan estimasi kerugian negara sekitar Rp3 miliar.
Gelombang kasus korupsi yang melibatkan sejumlah BUMD menjadi latar belakang kuat mengapa rencana penggabungan holding ini dianggap mendesak.
Dedi Mulyadi menilai tanpa langkah tegas, keberadaan BUMD hanya akan menjadi beban pemerintah daerah.
“Yang penting ke depan, BUMD tidak lagi menjadi tempat pemborosan, tapi justru penyumbang bagi pendapatan asli daerah,” tegas Dedi.***