
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia atau APTRI mendorong pemotongan kuota impor gula rafinasi pada tahun depan hingga menjadi 2,7 juta ton. Sebab, petani menemukan penekan harga gula tingkat petani saat ini adalah merembesnya gula khusus industri tersebut ke pasar konsumen.
Badan Pangan Nasional menunjukkan tren penurunan harga acuan pembelian gula tingkat petani sejak Mei 2025 sampai saat ini. Adapun rata-rata nasional harga gula tingkat petani susut dari Rp 15.746 per kg para April 2025 menjadi Rp 14.476 hari ini, Rabu (27/8).
"Kami sudah bolak-balik menjelaskan kondisi tersebut disebabkan bahwa pasar gula nasional dipenuhi gula rafinasi impor. Pemerintah harus bertanggung jawab karena kuota impor yang ditetapkan awal tahun tidak terkendali," kata Sekretaris Jenderal APTRI, M Nur Khabsyin di Jakarta Selatan, Rabu (27/8).
Dalam jangka panjang, Nur mendorong pemerintah memangkas kuota impor tahun depan dari 3,4 juta ton tahun pada ini menjadi sekitar 2,7 juta ton. Menurutnya, pemangkasan tersebut akan mengurangi potensi pasokan berlebih di industri pengguna gula rafinasi.
Dalam jangka pendek, Nur meminta pemerintah untuk menyerap seluruh gula besutan petani melalui BUMN Pangan atau PT Sinergi Gula Nusantara (Sugar Co). Seperti diketahui, Sugar Co telah mendapatkan dana segar senilai Rp 1,5 triliun untuk menyerap gula lokal pada pekan lalu, Jumat (22/8).
"Gula yang sudah dijanjikan mau dibeli pemerintah jangan ditunda realisasinya. Jika ditunda, petani dapat menjadi tidak semangat untuk menanam tebu yang akhirnya berdampak pada target swasembada gula 2030," katanya.
Di samping itu, Nur mengancam melakukan unjuk rasa oleh ribuan petani gula untuk segera merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 16 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Menurutnya, beleid tersebut membuat pabrikan etanol berhenti menyerap tetes tebu yang memaksa mayoritas pabrik gula menghentikan operasi dalam waktu dekat.
Untuk diketahui, tetes tebu merupakan limbah hasil produksi gula di pabrik. Proses produksi mayoritas pabrik diproyeksikan segera berhenti lantaran tangki penyimpanan yang terintegrasi langsung dengan mesin produksi akan penuh.
Nur menjelaskan Pasal 93 Permendag No. 16 Tahun 2025 membebaskan impor etanol dari perizinan impor. Adapun tetes tebu merupakan bahan baku bagi industri etanol di dalam negeri.
"Permendag No 16 Tahun 2025 ini malapetaka mengingat tetes tebu yang tidak laku kana menjadi limbah yang berbahaya. Pemerintah harus bergerak cepat merevisi Permendag No. 16 Tahun 2025 agar tetes tebu tidak menjadi limbah," katanya.
Ketua Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia, Izmirta Rachman, menjelaskan pihaknya mengolah sekitar 40% dari volume produksi tahunan tetes tebu mencapai 1,6 juta ton per tahun. Menurutnya, tetes tebu kini hanya dapat diserap oleh pasar domestik lantaran permintaan dari negara tujuan ekspor molases lokal susut, yakni Thailand dan Filipina.
Pada saat yang sama, Rachman menyampaikan penerbitan Permendag No. 16 Tahun 2025 menciptakan ketidakpastian pasar dengan dihapusnya Perizinan Impor dalam proses impor etanol. Untuk diketahui, sebagian besar mesin produksi dalam pabrik gula lokal memiliki tangki molases yang terintegrasi dengan alat produksi utama.
"Sudah tetes tebu susah diekspor, kemungkinan besar tetes tebu tidak akan diserap industri dalam negeri karena potensi banjir etanol impor. Akhirnya, proses giling tebu tidak lancar dan target swasembada gula tidak tercapai," kata Rachman di Jakarta Selatan,Rabu (27/8).