9 Ungkapan Guru di Masa Lalu yang Bisa Menimbulkan Trauma Anak Sekolah Sekarang

Metode pengajaran dan pemahaman psikologi anak telah berkembang pesat sejak tahun 70-an dan 80-an.

Hal ini memunculkan perbedaan besar dalam cara guru berkomunikasi dengan murid-murid mereka. Frasa yang dulu dianggap biasa, kini bisa dianggap sebagai bentuk trauma psikologis.

Melansir dari Geediting.com Selasa (26/8), beberapa ungkapan yang digunakan guru-guru di era tersebut kini menjadi penyebab kekhawatiran.

Mempelajari ungkapan ini adalah cara untuk memahami perubahan cara pandang terhadap kesehatan mental anak. Berikut ini sembilan ungkapan yang dimaksud.

1. "Saya Tidak Peduli Siapa yang Memulainya"

Frasa ini adalah respons universal untuk setiap perselisihan atau pertengkaran di antara siswa. Guru saat itu tidak berusaha memahami akar masalahnya, hanya ingin menghentikan konflik. Ini mengabaikan perasaan anak-anak dan tidak mengajarkan mereka untuk menyelesaikan masalah.

2. "Berhenti Menangis atau Saya Beri Kamu Sesuatu untuk Ditangisi"

Ungkapan ini adalah bentuk ancaman untuk membuat seseorang berhenti menangis. Alih-alih memberikan kenyamanan, itu justru menekan emosi dan membuat anak merasa takut. Hal ini mengajarkan anak-anak bahwa emosi mereka tidak valid dan harus disembunyikan.

3. "Kamu Tidak Hidup Sesuai Potensimu"

Di masa lalu, guru percaya hanya ada satu standar untuk semua siswa. Frasa ini bisa membuat anak merasa tidak berharga dan gagal, meskipun mereka sudah berusaha. Hal ini tidak menghargai setiap anak yang memiliki kecepatan dan cara belajar yang berbeda.

4. "Tongkat dan Batu Boleh Mematahkan Tulangmu, tapi Kata-kata Tidak Akan Menyakitimu"

Pepatah lama ini digunakan untuk meremehkan dampak dari perundungan verbal. Sains modern membuktikan bahwa kata-kata dapat melukai otak dan meninggalkan trauma. Frasa ini mengajarkan anak untuk menekan perasaan mereka dan menerima perlakuan buruk.

5. "Namanya Juga Anak Laki-laki"

Ungkapan ini memberi izin bagi anak laki-laki untuk berperilaku buruk. Mulai dari merusak barang hingga melecehkan anak perempuan, semua dimaafkan dengan kalimat ini. Hal ini membentuk pandangan gender yang toksik dan tidak menghormati anak perempuan.

6. "Sudah Dicoba Berpikir Lebih Keras?"

Guru di era itu mengharapkan siswa untuk mengikuti satu pola pikir saja. Kalimat ini menyiratkan bahwa siswa bodoh jika tidak langsung memahami sesuatu. Ini adalah frasa yang meremehkan proses belajar dan berpikir.

7. "Ini Akan Masuk ke Catatan Permanenmu"

Guru menggunakan frasa ini sebagai bentuk ancaman tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya. Mereka berharap anak-anak patuh karena takut masa depan mereka rusak. Frasa ini mengintimidasi dan memanipulasi anak secara emosional.

8. "Dengarkan Saya, Saya Orang Dewasa"

Ungkapan ini menunjukkan otoritas absolut dan menolak segala bentuk pertanyaan atau keraguan dari anak. Hal ini membungkam keingintahuan anak-anak dan membuat mereka takut untuk berpikir kritis. Mereka diajarkan untuk tidak mempertanyakan otoritas orang dewasa.

9. "Jalani Saja"

Frasa ini digunakan sebagai respons atas cedera atau rasa sakit yang tidak terlihat. Guru menganggap cedera yang dialami anak sebagai sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Ini meremehkan pengalaman fisik dan emosional anak.

Pergeseran cara pandang ini mencerminkan kesadaran yang semakin tinggi terhadap kesehatan mental anak. Kita belajar bahwa cara berkomunikasi dengan anak-anak memiliki dampak jangka panjang pada diri mereka. Penting untuk memahami mengapa kalimat yang seolah-olah tidak berbahaya ini bisa jadi sangat menyakitkan.

Hal ini menekankan pentingnya komunikasi yang penuh empati dan rasa hormat dalam mendidik anak. Perlu diingat bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk atau bahkan merusak jiwa anak. Kita harus berhati-hati dalam setiap ucapan.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama

Comments