Habis Rojali, Terbitlah Royalti: Nasib Buruk Pengusaha

Bagi pelaku usaha, khususnya pemilik kafe dan restoran, tantangan datang secara berulang. Masih saja bingung memikirkan fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli), kini mereka dihadapkan pada isu yang tidak kalah rumit: royalti musik.

Ungkapan ini mencerminkan kenyataan tentang kesulitan yang selalu menghantui, seakan-akan ketika satu masalah selesai, masalah lain sudah siap menanti.

Rojali: Ketika Pelanggan Menjadi Beban

Peristiwa Rojali merujuk pada pelanggan yang menghabiskan waktu dalam durasi panjang di kafe atau restoran dengan pembelian yang sedikit, bahkan tidak sama sekali.

Mereka memanfaatkan fasilitas seperti akses Wi-Fi, pendingin ruangan, dan kursi yang nyaman, tetapi tidak memberikan kontribusi yang setara.

Dampak yang ditimbulkan oleh Rojali terasa jelas:

Penjualan menurun, karena kursi yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pelanggan lain dengan kemampuan belanja lebih tinggi justru ditempati dalam waktu lama. Biaya operasional meningkat, karena penggunaan listrik, air, dan fasilitas lainnya terus berlangsung tanpa diimbangi pendapatan yang memadai.

Peristiwa ini menyebabkan banyak pemilik bisnis merasa kesal, karena mereka harus menghadapi tindakan pelanggan yang merugikan.

Royalti: Masalah Terbaru yang Menyulitkan

Saat para pengusaha berusaha menemukan solusi untuk menghadapi Rojali, muncul isu mengenai kewajiban pembayaran royalti musik.

Aturan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 mengharuskan kafe dan restoran untuk membayar royalti sebesar Rp120.000 per kursi setiap tahun.

Bagi pengusaha, aturan ini terasa sangat memberatkan dan tidak adil.

Alasannya:

Biaya tetap yang tidak terkait dengan pendapatan. Royalti harus dibayarkan setiap tahun, tanpa memandang apakah kafe ramai atau sepi. Tidak ada hubungan antara pengeluaran yang dilakukan dengan pendapatan yang diperoleh. Bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah tantangan. Musik merupakan elemen penting dalam menciptakan suasana. Jika tidak memainkan musik, kafe akan terasa kosong dan tidak nyaman, berpotensi kehilangan pengunjung. Namun, jika memutarnya, mereka harus menanggung beban biaya royalti yang besar.

Dampak Berantai yang Membahayakan Kelangsungan Bisnis

Gabungan antara Rojali dan kewajiban royalti menghasilkan dampak berantai yang merugikan, tidak hanya bagi pemilik bisnis, tetapi juga bagi keseluruhan rantai ekonomi.

1. Penurunan Margin Keuntungan:

Kedua isu ini secara langsung mengurangi margin keuntungan. Rojali mencatat penjualan yang tidak berubah, sementara royalti menjadi biaya tetap yang tidak bisa dihindari.

Keuntungan yang seharusnya digunakan untuk memperluas bisnis, kini harus dialokasikan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran tersebut.

2. Pemangkasan Karyawan (PHK):

Saat margin keuntungan terus berkurang, pemilik bisnis harus melakukan penghematan.

Salah satu cara tercepat dan paling menyakitkan adalah dengan mengurangi jumlah karyawan.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dianggap sebagai langkah terakhir agar perusahaan bisa bertahan, tetapi dampaknya langsung dirasakan oleh karyawan yang kehilangan penghasilan.

3. Kualitas Produk Menurun:

Untuk mengurangi pengeluaran, beberapa pelaku usaha mungkin harus memilih bahan baku yang lebih terjangkau atau memangkas ukuran porsi.

Ini pasti akan memengaruhi kualitas barang, menyebabkan ketidakpuasan pelanggan, dan akhirnya berpotensi mengurangi kesetiaan mereka.

4. Tutup Usaha:

Pada kondisi paling parah, ketika segala usaha untuk meningkatkan efisiensi tidak lagi memberikan hasil, penghentian operasional bisnis menjadi satu-satunya pilihan.

Kerugian yang terus meningkat, ditambah dengan kesulitan dalam bersaing, membuat pemilik usaha terpaksa menyerah.

Ini tidak hanya menghasilkan angka pengangguran yang baru, tetapi juga membatasi pilihan bagi para konsumen serta melemahkan sektor ekonomi kecil yang menjadi tulang punggung dari perekonomian.

Panggilan untuk Penyelesaian yang Lebih Adil

Setelah Rojali, munculah royalti" bukan hanya sekadar keluh kesah, tetapi ajakan untuk mencari jalan keluar yang lebih adil dan berkelanjutan.

Di tengah persaingan yang sengit, pelaku bisnis memerlukan kebijakan yang tidak hanya melindungi hak cipta, tetapi juga menyadari kondisi nyata di lapangan.

Dibutuhkan komunikasi yang lebih terbuka antara pemerintah, LMKN, dan pelaku usaha kecil guna menemukan model yang lebih fleksibel, sehingga tidak ada lagi yang harus memilih antara mematuhi peraturan dan menjaga kelangsungan bisnis mereka.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم