Respons BPS Mengatasi Keraguan Ekonomi Tumbuh 5,12%: Standar Internasional

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti merespons keraguan yang muncul dari berbagai pihak mengenai angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025. Berdasarkan catatan BPS, ekonomi nasional mengalami peningkatan sebesar 5,2% secara tahunan atauyear on year(yoy), jauh di atas perkiraan sejumlah ekonom.

Meski sering dipertanyakan, Amalia menyatakan bahwa perhitungan BPS sudah memenuhi standar internasional. "Ada standar internasional," ujar Amalia di Istana Negara, Jakarta, Rabu (6/8).

Meskipun banyak ekonom memprediksi pertumbuhan ekonomi pada masa tersebut akan melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2025 tidak akan mencapai 5% karena tidak ada faktor pendorong seperti pada triwulan I ketika terjadi momen Ramadan.

Amalia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut telah didukung oleh data yang sah. “Data pendukungnya sudah baik. Semua sudah lengkap. Pendukungnya sangat kuat,” kata Amalia.

4 Kejanggalan Versi Celios

Pusat Ekonomi Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) Nailul Huda secara terbuka menyampaikan kritik terhadap data Badan Pusat Statistik (BPS). Ia menganggap angka pertumbuhan yang tinggi tidak mencerminkan realitas kondisi ekonomi yang sebenarnya.

"Saya tidak yakin dengan data yang disampaikan mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya," ujar Huda, Selasa (5/8).

Berikut empat ketidakwajaran yang diperhatikan Celios:

1. Peningkatan Ekonomi Tanpa Dampak Ramadan-Idul Fitri

Huda merasa aneh karena pertumbuhan ekonomi pada kuartal II justru lebih tinggi dibandingkan kuartal I. Padahal, kuartal I meliputi momen Ramadan dan Lebaran yang biasanya menjadi penggerak utama pengeluaran masyarakat.

"Pada kuartal pertama terdapat bulan Ramadhan, pertumbuhan hanya sebesar 4,87%. Namun pada kuartal kedua justru melonjak tanpa ada peristiwa penting apa pun," ujar Huda.

2. Perkembangan Industri Tidak Sejalan dengan Data PMI

Industri pengolahan mengalami pertumbuhan sebesar 5,68%, tetapi Huda menyoroti ketidaksesuaian dengan Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia yang justru mengalami kontraksi di bawah 50 poin selama bulan April hingga Juni 2025.

"Artinya perusahaan tidak melakukan ekspansi (penambahan produksi) yang signifikan," kata Huda. Ia juga mencatat bahwa jumlah pemutusan hubungan kerja meningkat 32% sepanjang semester pertama, yang menunjukkan kondisi industri semakin memburuk.

3. Pengeluaran Rumah Tangga Tidak Sesuai dengan Kontribusi PDB

Konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 4,97% dan berkontribusi lebih dari 54% terhadap PDB. Namun, kenaikannya hanya sedikit dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,95%, meskipun pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan yang signifikan.

Huda juga menyebutkan bahwa indeks keyakinan konsumen mengalami penurunan dari 121,1 pada Maret 2025 menjadi 117,8 pada Juni 2025, yang menunjukkan menurunnya daya beli masyarakat.

4. Data Ekonomi Tidak Sesuai dengan Indikator Lain

Menurut Huda, banyak indikator awal yang tidak mendukung pernyataan pertumbuhan tinggi yang dikeluarkan oleh BPS. Ia mengharapkan BPS memberikan penjelasan terperinci mengenai metode dan indikator yang digunakan.

"Badan Pusat Statistik perlu menjelaskan secara rinci metode yang digunakan, termasuk indeks untuk menghitung angka nilai tambah bruto sektoral serta pengeluaran," ujar Huda.

CORE Indonesia Mengungkap Kenaikan Investasi

Kepala Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga mengkritik perkembangan investasi yang dianggap tidak biasa. BPS mencatat peningkatan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh sebesar 6,99% pada kuartal II 2025, meningkat signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yang hanya 2,12%.

"Jauh lebih besar dibanding kuartal I 2025 yang belum mencapai 3%. Awalnya kami memperkirakan kuartal II hanya sedikit di atas 3%, tapi jika mencapai 7% memang sangat tinggi," kata Faisal.

Menurut Faisal, nilai investasi tersebut sama dengan situasi sebelum pandemi Covid-19, sehingga catatan BPS dianggapnya melebihi ekspektasi.

"Karena pada saat yang bersamaan muncul dari beberapa indikator terkait investasi, banyak ketidakpastian yang dimiliki para investor mengenai kebijakan-kebijakan dan efektivitas dari kebijakan pemerintah," kata Faisal.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم