Laporan Jurnalis, Alifia Nuralita Rezqiana
, YOGYAKARTA –Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta serta anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Niki Alma Febriana Fauzi (Ustaz Niki) mengangkat isu mengenai lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dalam diskusi tentang Islam yang inklusif.
Lulusan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia menyampaikan pendapatnya mengenai LGBT dalam Program INKLUSI Pimpinan Pusat Aisyiyah (PP Aisyiyah) "Mainstreaming GEDSI di Media: Mengembangkan Jurnalisme Inklusif" yang berlangsung di SM Tower, Yogyakarta, Rabu (6/8/2025).
Ustaz Niki menyampaikan, hingga kini belum ada keputusan resmi dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang secara spesifik membahas masalah LGBT.
Namun, menurutnya, komunitas Muslim Queer termasuk dalam kategori GEDSI.
Dikutip daridictionary.cambridge.org, Queer adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang identitas gender atau orientasi seksualnya berbeda dari konsep tradisional yang ada di masyarakat mengenai gender atau seksualitas. Queer mencakup komunitas LGBT, individu yang sedang mempertanyakan identitasnya, interseks, aseksual, serta berbagai bentuk identitas gender dan seksual lainnya.
Harap dicatat, istilah Queer bisa menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian orang. Gunakan kata ini hanya jika seseorang menyebut dirinya sendiri sebagai Queer.
Komunitas orang-orang yang berorientasi seksual minoritas dan memeluk agama Islam dikenal sebagai Queer Muslim.
Selanjutnya, GEDSI merupakan kependekan dari Gender Equality, Disability, and Social Inclusion. Istilah ini digunakan untuk mengacu pada kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial.

"Masalah LGBT, ini isu yang sangat sensitif menurut saya. Berdasarkan pemahaman saya, Muhammadiyah belum memiliki fatwa khusus yang membahas mengenai LGBT. Jadi, jika nanti ada yang merujuk pada pendapat ini, itu adalah pendapat pribadi, bukan pendapat resmi Muhammadiyah," katanya.
"Saya melihat bahwa LGBT memang benar termasuk dalam ranah yang tadi disebutkan, yaitu inklusi sosial," ujar Ustaz Niki.
Ustaz Niki menekankan bahwa LGBT adalah kesalahan dan tidak sesuai dengan norma Islam. Namun, menurutnya, kesalahan ini tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menganiaya orang lain.
"Dari sudut pandang saya sendiri, LGBT adalah kesalahan. Jadi saya secara tegas menyatakan bahwa LGBT merupakan kesalahan dari norma Islam. Namun bukan berarti sikap kita yang menganggap hal itu salah, membuat kita boleh melakukan diskriminasi, kemudian menghalangi hak-hak yang seharusnya mereka peroleh, lalu menjadikan mereka terasing," tegasnya.
Ia menceritakan, seorang mahasiswa pernah memberikan kritik terhadap pemahamannya mengenai isu LGBT.
Pernah suatu saat saya sampaikan hal ini kepada mahasiswa-mahasiswa UNISA di asrama tersebut. Ada seorang mahasiswa yang mengeluh dan mengkritik pendapat tersebut.Tidak bisa, itu tidak diperbolehkan, LGBT itu kan penyimpangan, haram, masuk nerakaYa, pendapat saya juga sama, pendapat pribadi seperti itu, tapi bukan berarti kita boleh melakukan diskriminasi terhadap mereka? (bukan berarti, -red) boleh menghalangi hak-hak yang seharusnya mereka peroleh," ujar Ustaz Niki.
"Menurut pendapat saya (LGBT) tidak benar, tetapi bukan berarti kita boleh sembarangan melakukan diskriminasi dan seterusnya," tegasnya lagi.
Masjid yang ramah bagi penyandang disabilitas di Yogyakarta
Pada kesempatan yang sama, Ustaz Niki membahas mengenai akses bagi penyandang disabilitas yang masih terbatas di masjid-masjid Yogyakarta.
Menurutnya, saat ini telah banyak masjid di Yogyakarta yang ramah bagi penyandang disabilitas. Namun, tingkat aksesibilitas bagi disabilitas masih perlu dievaluasi kembali.
"Jika pertanyaannya tentang ramah difabel, di Yogyakarta saya kira sudah ada dan cukup banyak, tergantung seberapa besar ke ramahan difabel tersebut, hal ini mungkin perlu kita ukur kembali," ujar Ustaz Niki.
Sebagai dosen di UAD, ia memberikan contoh bahwa Masjid UAD termasuk ramah bagi penyandang disabilitas, tetapi belum sepenuhnya maksimal.
Bagi penyandang disabilitas pendengaran yang ingin beribadah, keberadaan penterjemah bahasa isyarat masih terbatas.
“Karena saya berasal dari UAD, saya sedikit menyampaikan, Masjid UAD secara fisik bangunannya sudah ramah difabel, bisa diakses ya. Tapi untuk ramah difabel yang menjadi contoh atau unggulan, saya kira belum. Karena tadi, khutbah Jumat belum ada penerjemah bahasa isyarat, serta belum ada layar yang menampilkan teksnya,” kata Ustaz Niki.
Menurut Ustadz Niki, salah satu masjid paling ramah disabilitas di Yogyakarta adalah Masjid UIN Sunan Kalijaga yang terletak di Jalan Laksda Adisucipto, Depok, Kabupaten Sleman.
"Masjid UIN Sunan Kalijaga cukup ramah bagi penyandang disabilitas dibandingkan masjid lain di Yogyakarta. Saya pernah melihat sebuah unggahan dari seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga, yang menjadi jamaah di masjid tersebut lalu mengambil foto juru bicara isyarat saat khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Aksesibilitasnya sudah jelas tersedia di sana, karena terdapat Pusat Layanan Disabilitas," ujar Ustaz Niki.
Ia berharap, dialog terbuka yang membahas isu GEDSI mampu membuat masyarakat menyadari bahwa di luar sana terdapat Islam dengan pemikiran yang lebih maju.
"Agar masyarakat juga sadar, masyarakat juga melihat bahwa ternyata ada kelompok Islam yang memiliki pemikiran yang progresif. Hanya saja kelemahannya terkadang Muhammadiyah, Aisyiyah, tidak memiliki alat untuk menyebarkan pendapat-pendapat mereka," katanya.
Pemilihan istilah yang ramah terhadap penyandang disabilitas

Sekretaris Umum PP Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah yang hadir dalam Program INKLUSI “Mainstreaming GEDSI di Media” di SM Tower, Rabu (6/8/2025) menyoroti pentingnya pemilihan istilah untuk menggambarkan para penyandang disabilitas.
"Di dalam undang-undang kita menyebutnya 'kelompok penyandang disabilitas'. Namun ada beberapa orang yang tidak ingin disebut sebagai disabilitas, karena kata disabilitas berarti 'disability' yang berarti tidak mampu, padahal sebenarnya mereka ingin disebut 'different' atau berbeda kemampuan," ujar Tri.
Ia berharap, istilah-istilah yang ramah terhadap penyandang disabilitas dapat dipromosikan agar bisa digunakan oleh banyak orang.
"Kata-kata ini yang nanti kita akan berusaha promosikan bersama, karena sering kali masih ada yang menggunakan kata 'tuna', padahal kata-kata tersebut sebenarnya tidak tepat," ujar Tri.
Menurutnya, kata "tuna" tidak boleh digunakan lagi.
"Sebenarnya terlihat kecil, tetapi bahasa juga mencerminkan makna atau kekerasan simbolis terhadap suatu kelompok, mengapa hal ini sangat penting dalam diskusi," jelasnya.
Ia memberikan contoh, kata "tunarungu" sebaiknya tidak lagi digunakan, tetapi diganti dengan istilah“Tuli” atau “teman Tuli”.

Program INKLUSI dari PP Aisyiyah juga mengundang jurnalis senior Harian Kompas, Sonya Hellen Sinombor, yang menegaskan kembali peran penting GEDSI dalam kegiatan jurnalistik.
Sonya berbagi kisah dan pengalamannya selama beberapa dekade sebagai jurnalis. Ia juga memberikan saran mengenai metode peliputan yang bersifat inklusif dan penuh empati.
Jurnalisme yang inklusif, menurut Sonya, perlu memastikan adanya representasi yang adil, seimbang, serta menghargai berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok yang selama ini diabaikan atau kurang mendapat perhatian dalam media.
Ia menjelaskan, jurnalisme yang inklusif perlu menghindari stereotip dan prasangka, dengan cara menggunakan bahasa serta pendekatan penyajian yang tidak memperkuat kesan negatif.
Sonya juga menyoroti pemilihan istilah dalam jurnalisme yang inklusif, seperti kata "waria" yang seharusnya sudah tidak lagi digunakan. Kata "waria" seharusnya diganti dengan“transpuan”.
(/ANR)